APTRI Tagih Keseriusan Pemerintah Audit Gula Rafinasi
22 Juli 2011
Admin Website
Artikel
4731
Jakarta (ANTARA
News) - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menagih keseriusan
pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan, untuk melakukan audit
terhadap seluruh distribusi gula rafinasi.
"Menteri Perdagangan menjanjikan akan melakukan audit, tetapi kenyataannya hingga sekarang tidak ada aksinya. Gula rafinasi yang seharusnya untuk industri justru membanjiri pasar konsumsi," kata Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen di Jakarta, Kamis.
Soemitro mengatakan, saat bertemu jajaran APTRI, Mendag Mari Elka Pangestu berjanji akan melakukan audit terhadap distribusi gula rafinasi yang dilaporkan menyalahi peraturan, yakni bukan hanya didistribusikan ke industri melainkan juga dilempar ke pasaran.
Namun, lanjut Soemitro, hingga saat ini tidak tampak tindakan nyata yang dilakukan jajaran kementerian itu. Pemerintah terkesan mendiamkan pelanggaran tersebut.
Berdasar investigasi yang dilakukan APTRI di sejumlah daerah, khususnya kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, gula rafinasi menguasai sebagian besar pasar dibanding gula putih.
Bali, misalnya, sekitar 80 persen kebutuhan gula dipenuhi gula rafinasi merek Bola Manis produk PT Makasar Tene, Makassar. Sementara di NTB gula lokal hanya mengisi pasar 10 persen.
"Pemerintah harus menindak tegas produsen gula rafinasi seperti PT Makasar Tene yang menjual sebagian besar produksinya ke pasar konsumsi," kata Soemitro.
Menurut APTRI salah satu sumber masalah peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi adalah Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 tentang Produksi Gula Rafinasi yang mengizinkan penjualan 25 persen produk gula rafinasi kepada industri kecil dan rumah tangga.
"SK ini harus dicabut karena kebijakan ini sulit dikontrol dan berpotensi mendistorsi pasar gula putih," kata Soemitro.
Ia mengatakan, serbuan gula rafinasi, yang bahan dasarnya diimpor dari luar negeri, ke pasar konsumsi merugikan petani tebu, bahkan jika dibiarkan bisa membunuh petani secara perlahan.
"Kami tidak menolak gula rafinasi, tetapi peruntukannya harus jelas untuk industri. Kalau dilempar juga ke pasar konsumsi, bisa membunuh petani," katanya.
Apalagi, tambah Soemitro, saat ini juga beredar gula impor ilegal yang didatangkan dari Malaysia dan Thailand.
DIKUTIP DARI ANTARA NEWS, KAMIS, 21 JULI 2011
"Menteri Perdagangan menjanjikan akan melakukan audit, tetapi kenyataannya hingga sekarang tidak ada aksinya. Gula rafinasi yang seharusnya untuk industri justru membanjiri pasar konsumsi," kata Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen di Jakarta, Kamis.
Soemitro mengatakan, saat bertemu jajaran APTRI, Mendag Mari Elka Pangestu berjanji akan melakukan audit terhadap distribusi gula rafinasi yang dilaporkan menyalahi peraturan, yakni bukan hanya didistribusikan ke industri melainkan juga dilempar ke pasaran.
Namun, lanjut Soemitro, hingga saat ini tidak tampak tindakan nyata yang dilakukan jajaran kementerian itu. Pemerintah terkesan mendiamkan pelanggaran tersebut.
Berdasar investigasi yang dilakukan APTRI di sejumlah daerah, khususnya kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, gula rafinasi menguasai sebagian besar pasar dibanding gula putih.
Bali, misalnya, sekitar 80 persen kebutuhan gula dipenuhi gula rafinasi merek Bola Manis produk PT Makasar Tene, Makassar. Sementara di NTB gula lokal hanya mengisi pasar 10 persen.
"Pemerintah harus menindak tegas produsen gula rafinasi seperti PT Makasar Tene yang menjual sebagian besar produksinya ke pasar konsumsi," kata Soemitro.
Menurut APTRI salah satu sumber masalah peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi adalah Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 111 Tahun 2009 tentang Produksi Gula Rafinasi yang mengizinkan penjualan 25 persen produk gula rafinasi kepada industri kecil dan rumah tangga.
"SK ini harus dicabut karena kebijakan ini sulit dikontrol dan berpotensi mendistorsi pasar gula putih," kata Soemitro.
Ia mengatakan, serbuan gula rafinasi, yang bahan dasarnya diimpor dari luar negeri, ke pasar konsumsi merugikan petani tebu, bahkan jika dibiarkan bisa membunuh petani secara perlahan.
"Kami tidak menolak gula rafinasi, tetapi peruntukannya harus jelas untuk industri. Kalau dilempar juga ke pasar konsumsi, bisa membunuh petani," katanya.
Apalagi, tambah Soemitro, saat ini juga beredar gula impor ilegal yang didatangkan dari Malaysia dan Thailand.
DIKUTIP DARI ANTARA NEWS, KAMIS, 21 JULI 2011