Kaltim Berharap Investor Jepang Lirik Maloy
13 November 2014
Admin Website
Berita Daerah
4642
SAMARINDA. Kaltim membuka peluang investasi bagi
para pengusaha Jepang dan pengusaha negara lain untuk mengembangkan
industri oleochemical di Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional
(KIPI) Maloy di Kutai Timur.
KIPI Maloy yang telah mendapat persetujuan pemerintah pusat menjadi kawasan ekonomi khusus melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan (KEK MBTK) dinilai lebih prospektif dibanding kawasan industri lain yang sudah dikembangkan lebih dulu di daerah Jawa dan Sumatera.
"Kami akan memfasilitasi berapapun investasi yang akan digelontorkan oleh pengusaha-pengusaha Jepang untuk pengembangan industri oleochemical, seperti yang dilakukan PT Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara," kata Kepala Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Kaltim Diddy Rusdiansyah, saat mendampingi Plt Sekprov Kaltim menerima kunjungan Konsul Jenderal Jepang di Surabaya, Noboru Nomura belum lama ini.
Prospek investasi yang mungkin digelontorkan para pengusaha Jepang adalah dalam pengembangan industri produk turunan sawit. Kepada para pengusaha Jepang Diddy menegaskan bahwa mereka tidak perlu khawatir, sebab potensi sawit di Kaltim, khususnya Kutai Timur sangat besar.
Produk-produk turunan pertama CPO (crude palm oil) bisa secara langsung dikirim ke perusahaan-perusahaan Jepang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang dari sisi jarak tempuh akan lebih singkat dibanding jalur yang biasa dilalui ALKI I.
"Jika pengusaha Jepang berminat, silahkan turunan pertamanya dibuat di Maloy, lalu kirim ke Jepang atau negara lain untuk diolah lagi menjadi kosmetik atau produk lain sesuai standar Jepang. Yang penting, hilirisasi pertama dibuat di Kaltim. Pengiriman lewat Dumai atau Sei Mangke pasti lebih lama, sementara menggunakan ALKI II akan lebih cepat," beber Diddy.
Diddy juga mengungkapkan hingga saat ini investasi para pengusaha Jepang masih jauh jika dibanding investasi yang ditanamkan oleh para pengusaha Singapura, Australia dan Malaysia. Karena itu Pemprov Kaltim sangat berharap dukungan Duta Besar Jepang untuk Indonesia untuk mempromosikan potensi Kaltim kepada para investor dari negeri Sakura untuk melirik potensi besar pengembangan oleochemical di Bumi Kalimantan Timur.
Menanggapi hal tersebut, Konsul Jepang di Surabaya Noboru Nomura mengatakan investasi perusahaan Jepang sangat mungkin dilakukan, namun dengan sejumlah syarat. Diantaranya, harga lahan yang memadai (realistis), ketersediaan listrik yang cukup, ketersediaan gas dan upah buruh minimum.
"Kenaikan upah minimum tidak boleh 20 hingga 30 persen pertahun sebab itu pasti akan menyulitkan. Pada sekitar kawasan itu apakah sudah ada mal atau fasilitas layanan publik lainnya? Terpenting, jalanan tidak boleh macet seperti di Jakarta. Itu sangat tidak baik, karena waktu pekerja akan lebih banyak habis di jalan," kata Noboru.
Hal lain yang juga harus dipertimbangkan menurut Noboru antara lain persoalan jarak tempuh dari lokasi pabrik menuju pelabuhan. Jika jaraknya mencapai 4-6 jam, sangat tidak efisien. Demikian pula terkait perijinan ekspor.
Pemerintah harus mampu membuat aturan perijinan ekspor langsung dari Maloy ke negara tujuan. "Jadi tidak perlu ijin dulu ke Surabaya atau Jakarta. Itu akan membuat pengusaha Jepang tidak tertarik," ujar Noboru. (sul/es/hmsprov).
SUMBER : HUMAS PROV. KALTIM
KIPI Maloy yang telah mendapat persetujuan pemerintah pusat menjadi kawasan ekonomi khusus melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2014 tentang Kawasan Ekonomi Khusus Maloy Batuta Trans Kalimantan (KEK MBTK) dinilai lebih prospektif dibanding kawasan industri lain yang sudah dikembangkan lebih dulu di daerah Jawa dan Sumatera.
"Kami akan memfasilitasi berapapun investasi yang akan digelontorkan oleh pengusaha-pengusaha Jepang untuk pengembangan industri oleochemical, seperti yang dilakukan PT Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara," kata Kepala Badan Perijinan dan Penanaman Modal Daerah (BPPMD) Kaltim Diddy Rusdiansyah, saat mendampingi Plt Sekprov Kaltim menerima kunjungan Konsul Jenderal Jepang di Surabaya, Noboru Nomura belum lama ini.
Prospek investasi yang mungkin digelontorkan para pengusaha Jepang adalah dalam pengembangan industri produk turunan sawit. Kepada para pengusaha Jepang Diddy menegaskan bahwa mereka tidak perlu khawatir, sebab potensi sawit di Kaltim, khususnya Kutai Timur sangat besar.
Produk-produk turunan pertama CPO (crude palm oil) bisa secara langsung dikirim ke perusahaan-perusahaan Jepang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang dari sisi jarak tempuh akan lebih singkat dibanding jalur yang biasa dilalui ALKI I.
"Jika pengusaha Jepang berminat, silahkan turunan pertamanya dibuat di Maloy, lalu kirim ke Jepang atau negara lain untuk diolah lagi menjadi kosmetik atau produk lain sesuai standar Jepang. Yang penting, hilirisasi pertama dibuat di Kaltim. Pengiriman lewat Dumai atau Sei Mangke pasti lebih lama, sementara menggunakan ALKI II akan lebih cepat," beber Diddy.
Diddy juga mengungkapkan hingga saat ini investasi para pengusaha Jepang masih jauh jika dibanding investasi yang ditanamkan oleh para pengusaha Singapura, Australia dan Malaysia. Karena itu Pemprov Kaltim sangat berharap dukungan Duta Besar Jepang untuk Indonesia untuk mempromosikan potensi Kaltim kepada para investor dari negeri Sakura untuk melirik potensi besar pengembangan oleochemical di Bumi Kalimantan Timur.
Menanggapi hal tersebut, Konsul Jepang di Surabaya Noboru Nomura mengatakan investasi perusahaan Jepang sangat mungkin dilakukan, namun dengan sejumlah syarat. Diantaranya, harga lahan yang memadai (realistis), ketersediaan listrik yang cukup, ketersediaan gas dan upah buruh minimum.
"Kenaikan upah minimum tidak boleh 20 hingga 30 persen pertahun sebab itu pasti akan menyulitkan. Pada sekitar kawasan itu apakah sudah ada mal atau fasilitas layanan publik lainnya? Terpenting, jalanan tidak boleh macet seperti di Jakarta. Itu sangat tidak baik, karena waktu pekerja akan lebih banyak habis di jalan," kata Noboru.
Hal lain yang juga harus dipertimbangkan menurut Noboru antara lain persoalan jarak tempuh dari lokasi pabrik menuju pelabuhan. Jika jaraknya mencapai 4-6 jam, sangat tidak efisien. Demikian pula terkait perijinan ekspor.
Pemerintah harus mampu membuat aturan perijinan ekspor langsung dari Maloy ke negara tujuan. "Jadi tidak perlu ijin dulu ke Surabaya atau Jakarta. Itu akan membuat pengusaha Jepang tidak tertarik," ujar Noboru. (sul/es/hmsprov).
SUMBER : HUMAS PROV. KALTIM