(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Ketidakpastian Rencana Tata Ruang Hambat Investasi Sawit

04 Maret 2010 Admin Website Artikel 5670
Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Joko Supriyono mengatakan, masalah RTRWP sangat mengganggu pertumbuhan industri kelapa sawit Indonesia yang ditargetkan dapat memproduksi 40 juta ton CPO pada 2020, sekaligus menjadi program utama pengentasan kemiskinan.

#img1# "Ketidakjelasan status lahan akibat belum tuntasnya RTRWP, tentu saja merugikan para pengusaha yang akan melakukan penanaman baru dan mengembangkan luas lahannya. Apabila pemerintah pusat dan daerah tidak juga menyelesaikannya, maka dapat merugikan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah yang menjadi sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia," kata Joko dalam siaran pers yang diterima detikFinance, Rabu (3/3/2010).

Ia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah masih berjalannya tumpang tindih kawasan budidaya perkebunan dan tambang batubara dengan kawasan hutan ketika proses persetujuan RTRWP. Berlarut-larutnya penuntasan RTRWP ini mengakibatkan ketidakjelasan status lahan yang akan dipakai maupun dikembangkan oleh pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Imbasnya, program revitalisasi perkebunan rakyat yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Departemen Pertanian akan terganggu karena salah satu programnya mencakup perluasan lahan. Berdasarkan data Gapki, perluasan kebun kelapa sawit rata-rata per tahun diperkirakan rata-rata 400 ribu hektare (ha).

Dengan asumsi satu hektare lahan memerlukan investasi Rp 40 juta, maka total investasinya diperkirakan mencapai Rp 16 triliun. Artinya, ketidakpastian pengesahan RTRWP ini menghambat investasi baru senilai Rp 16 triliun untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Salah satu penyebab utama tidak rampungnya RTRWP ini adalah ketidaksinkronan Peraturan Pemerintah (Pusat-Daerah) yang berkaitan dengan kehutanan, perkebunan dan tata ruang.

"Investor memperoleh izin lokasi, tetapi izin lokasi tersebut menjadi tidak berlaku karena berada dalam kawasan hutan. Sementara, provinsi memiliki RTRWP dan menurut RTRWP izin tersebut tidak di kawasan hutan, tetapi RTRWP tidak diakui oleh pemerintah pusat. Investor berniat membangun dan memajukan daerah, jangan sampai menjadi korban ketidaksinkronan peraturan," tambah Joko.

Ketidaktuntasan penyelesaian masalah RTRWP ini makin runyam ketika Pemerintah (Kementerian Kehutanan) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan hutan.

Ketua Kompartemen Komunikasi dan Publikasi Gapki, Eddy Martono berpendapat, beleid tersebut malahan dapat menyulitkan perkembangan industri kelapa sawit nasional untuk mengembangkan luas lahan, karena prosedur perolehan lahan baru eks hutan (HPK, HP) akan makin sulit kalau tidak dibilang mustahil.

Untuk mendapatkan pelepasan kawasan hutan eks hutan produksi misalnya, pemohon hak harus mengganti lahan dengan lahan lain dengan perbandingan 1:1 dalam satu daerah aliran sungai dalam propinsi yang sama.

"Jelas ini adalah mustahil, kalau pemohon memiliki lahan (untuk lahan pengganti) kenapa harus mengajukan pelepasan kawasan hutan baru untuk investasi," kata Eddy Martono.

Menurut Eddy, PP No 10 tidak saja menghambat pengembangan baru kebun kelapa sawit, tetapi juga menyulitkan posisi perkebunan kelapa sawit yang operasionalnya sejak sebelum tahun 1999.

"Jadi, semua perkebunan kelapa sawit yang sudah beroperasi sebelum 1999 tetapi belum memperoleh izin pelepasan kawasan hutan harus mengurus kembali pelepasan kawasan hutan dimaksud. Ini kan langkah mundur. Dan anehnya, PP ini bersifat retroaktif sehingga perkebunan yang sudah operasional sebelum tahun 1999 bisa dianggap melanggar UU dan dikategorikan kriminal," kata Eddy.

Gapki mengharapkan pemerintah pusat dan daerah dapat segera menyelesaikan RTRWP ini, supaya tidak membingungkan dan merugikan investasi serta keberlangsungan industri kelapa sawit. Tidak bisa dipungkiri, peranan industri kelapa sawit telah memberikan andil sangat besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia melalui efek berlipat ganda (multiplier effect) berupa pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, penciptaaan lapangan kerja dan pendapatan negara.

Beberapa waktu lalu, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan sempat mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat 6 provinsi yang RTRW-nya sulit diselesaikan antara lain Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau.

DIKUTIP DARI DETIK ONLINE, RABU, 3 MARET 2010

Artikel Terkait