(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Warga dan Perusahaan Sama - Sama Ngotot

22 Desember 2009 Admin Website Artikel 5080
#img1# Pasalnya, warga dari Desa Kerang, Petangis dan Langgai ngotot meminta kebun inti milik perusahaan yang ada di lokasi atau divisi F, G, dan H untuk dijadikan kebun plasma. Sementara, perusahaan menghendaki membangun kebun plasma yang baru di lokasi P4.

Bahkan, warga perwakilan tiga desa secara bergantian menuntut PT PAP untuk mengabulkan tuntutan atau permintaan mereka hari itu juga, dan jangan ada lagi janji-janji karena hal itu sudah berapa kali dilaksanakan, namun tidak ada realisasi sama sekali.

"Ini bukan yang pertamakali kita melaksanakan pertemuan seperti ini. Di sini ada Bapak Bupati yang menjadi saksi, karena beliau juga sering hadir. Namun realisasi dari kesepakatan-kesepakatan terdahulu tidak ada. Perusahaan tidak pernah serius menindaklanjuti hasil kesepakatan," ungkap Arifin mewakili warga Desa Langgai.

Arifin mencontohkan hasil kesepakatan 2005 di mana PT PAP menyanggupi untuk membangun kebun plasma seluas 500 hektare di desa Langgai. Kebun itu baru dimulai ditanami pada 2008, dan menurut warga sekarang ditumbuhi rumput yang bahkan lebih tinggi dari pada sawit yang terkesan tidak terurus.

Sementara, Asisten I Setkab Paser Drs H Norhanuddin, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Ir I Putu Suwantara serta Camat Batu Engau Muhammad Ilmi sempat meminta kesediaan PT PAP untuk membuka hati dan mau memenuhi permintaan warga. Namun, PT SAP tidak bisa menyanggupi dan menolak keinginan warga.

"Masalah ini sudah bertahun-tahun. Mestinya perusahaan bisa mengevaluasi apanya yang kurang dalam komunikasi dengan masyarakat supaya bisa membina hubungan dengan masyarakat agar masalah yang ada bisa diselesaikan dengan baik," kata Putu Suwantara.

Sementara Wakil PT PAP David Low dan HRD Royke secara bergantian mengatakan menolak permintaan warga. David mengatakan bahwa ini hanya masalah keterlambatan. Dia meminta waktu 18 bulan untuk membangun plasma, dan kalau itu tidak terwujud maka dia bersedia membayar ganti rugi sebesar Rp 25 ribu/hektare per hari. Namun, usulan dan permintaan perusahaan langsung ditolak warga.

DIKUTIP DARI KALTIM POST, SELASA, 22 DESEMBER 2009

Artikel Terkait