(0541)736852    (0541)748382    disbun@kaltimprov.go.id

Kopi Luwak, dari Tanam Paksa ke Oprah

20 Desember 2010 Admin Website Artikel 6409

KOMPAS.com — Kehadiran kopi luwak di Tanah Air adalah sebuah ironi. Pada era cultuurstelsel atau tanam paksa, kopi luwak merupakan ”obat” pelipur lara bagi para petani yang terjajah Belanda. Namun, kini menjelma menjadi komoditas papan atas, yang harga jualnya di pasar internasional bisa mencapai Rp 32 juta per kilogram.

Tak perlu heran jika presenter ternama yang juga pengusaha, Oprah Winfrey, mengulas kenikmatan kopi yang satu ini dalam acaranya, Oprah Winfrey Show, yang ditayangkan salah satu televisi Amerika Serikat. ”Cita rasanya unik dan lezat,” demikian komentarnya, meski nyaris tersedak saat mengetahui cara pembuatannya.

Awal abad ke-19, sejumlah petani di Tanah Air, khususnya di Lampung, dipaksa menanam kopi sebagai komoditas andalan. Mereka lalu diwajibkan menyetorkan semua hasil panen kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Suatu ketika mereka menemukan sebuah cara untuk menikmati kopi hasil panen tersebut.

”Caranya dengan ngelahang (mengumpulkan) kopi yang jatuh di tanah, termasuk yang berupa kotoran luwak,” kata Sukardi (34), perajin kopi luwak di Way Mengaku, Liwa, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, menceritakan sejarah panjang kemunculan kopi luwak di daerahnya.

Ratusan tahun berjalan hingga kini kebiasaan ngelahang kopi luwak itu dilakukan segelintir petani kopi di Lampung Barat dan Sumatera Selatan. Bagi Minariah (39), petani kopi di Liwa, menikmati kopi luwak hasil ngelahang adalah sebuah kenikmatan tersendiri.

Brangkalan (biji-biji kopi yang masih tercampur kotoran luwak) biasanya banyak ditemukan saat musim panen (kopi). Bisa di dahan, batang, atau tanah. Saya kumpulkan, digiling, lalu diminum sendiri karena memang jumlahnya tidak banyak,” papar Minariah.

Kopi luwak hutan. Demikian warga Liwa menyebut kopi luwak yang diperoleh dari alam itu. Komoditas yang satu ini memiliki rasa yang sangat unik. Aromanya sangat tajam, gurih, dan tidak terlalu asam.

Di pasaran, kopi luwak hutan dijajakan dengan rasa yang beragam, bahkan ada yang ditambah aroma tanah yang eksotis.

Kekhasan kopi luwak, antara lain, karena di dalam organ pencernaan hewan tersebut kopi mengalami fermentasi secara alamiah oleh enzim-enzim yang dihasilkan bakteri. Enzim terkait ternyata mengurangi kadar keasaman biji-biji kopi.

”Proses itu juga menurunkan kadar kafein secara tajam pada kopi. Jadi, orang yang minum kopi luwak sehari 10 gelas pun tidak masalah. Tidak merusak tubuh,” kata Sukardi setengah mempromosikan kopi luwak.

Di daerah tertentu, lanjutnya, kopi sengaja disimpan hingga tujuh tahun semata-mata untuk menurunkan kadar kafein dan keasamannya.

Pernyataan senada dikemukakan Massimo Marcone, peneliti kopi dari Universitas Guelph, Kanada, sebagaimana dipublikasikan jurnal Food Research International. ”Pencernaan luwak otomatis menurunkan kadar protein sehingga menghasilkan rasa kopi yang unik dan kaya. Kopi ini karakteristiknya lembut, terkadang berasa cokelat atau karamel. Satu dari kopi terbaik di dunia,” paparnya. Marcone memfokuskan riset kopi luwaknya di Indonesia.

Dipelihara

Seiring ketenarannya, kopi luwak yang beredar di pasaran kini tidak lagi hanya merupakan hasil pencarian di alam terbuka, seperti di kebun kopi atau hutan. Sebagian besar bahkan dihasilkan dari tempat-tempat pemeliharaan luwak.

Di Way Mengaku, Liwa, misalnya, luwak yang terkenal liar dan buas dipelihara di dalam kandang di pekarangan rumah warga. Akan tetapi, yang dipelihara itu hanya yang jenis Paradoxurus dan Arctictis.

Musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus) tercatat sebagai salah satu hewan yang biasa memakan buah kopi dan menghasilkan kopi terbaik. Hewan ini banyak ditemukan di perkebunan kopi dan hutan di Sumatera dan Jawa.

Luwak binturung (Arctictis binturong) menghasilkan kotoran yang lebih besar. Namun, saat ini musang ”beruang” termasuk hewan yang dilindungi.

Wahyu Anggoro (25), perajin kopi luwak di Way Mengaku, mengatakan, tak mudah memelihara hewan penghasil kopi terbaik itu. ”Tidak jarang luwak kabur setelah berhasil menggigiti penutup kandang yang terbuat dari kayu dan kawat. Berkaca dari pengalaman, kini tutup kandang umumnya dibuat dari bahan besi berdiameter 10 milimeter,” katanya.

Luwak juga tergolong hewan kanibal karena bisa saling membunuh jika ditaruh di dalam satu kandang. Oleh karena itu, umumnya binatang tersebut ditempatkan dalam kandang berukuran sekitar 1 meter x 1,5 meter secara terpisah.

Biaya tinggi

Menurut Gunawan S (41), ketua kelompok perajin kopi luwak Raja Luwak di Pekonan, Way Mengaku, biaya operasional pemeliharaan luwak sangat tinggi, mencapai Rp 55.000 per ekor per hari. ”Seekor luwak tiap hari diberi makan buah kopi segar (yang dinilai terbaik) 5 kilogram, pisang minimal satu tandan, serta suplemen atau vitamin. Harga kopinya saja sudah Rp 6.000 per kilogram,” ujarnya.

Tidak semua buah kopi yang disajikan dimakannya. Luwak hanya memakan yang benar-benar matang dan segar.

Berbagai proses inilah yang membuat harga kopi luwak sangat mahal. Dewi Ana (33), eksportir kopi dan pemilik merek Dewi Luwak, mengatakan, harga kopi luwak di pasar internasional adalah Rp 7 juta-Rp 32 juta per kg. ”Kopi ini tetap ada yang mencari karena langka dan prestisenya,” ujar pengusaha yang mengekspor kopi luwak asal Liwa ke Jepang, Korea, Hongkong, dan Kanada. Sebagai perbandingan, biji kopi Hacienda dari Panama dan kopi St Helena Afrika yang masuk di dalam jajaran kopi papan atas harganya masing-masing Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta per kilogram.

Jadi, pantas saja jika majalah Forbes menyebut kopi luwak asal Indonesia sebagai kopi termahal di dunia. Di New York, AS, seperti yang terekam dalam sebuah tayangan berita di CNN, secangkir kopi luwak dihargai 100 dollar AS atau hampir Rp 1 juta. Wow...!

 

DIKUTIP DARI KOMPAS, MINGGU, 19 DESEMBER 2010

 

 

 

 

 

Artikel Terkait